JAKARTA – Pimpinan DPR RI sebaiknya tidak mengirimkan nama Calon Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI hasil Sidang Paripurna DPR kepada Presiden Joko Widodo. Sebab, Presiden akan menanggung beban kesalahan DPR jika menyetujui nama tersebut.
Saran itu disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI) Syamsul Bahri Radjam SH, menanggapi polemik pemilihan Calon Anggota BPK RI oleh DPR RI.
“Presiden akan menanggung beban karena harus membuat Keppres pengangkatan calon Anggota BPK yang dikirimkan oleh Pimpinan DPR dalam jangka waktu paling lambat 30 hari, sebagaimana diatur dalam Pasal 237 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib,” kata Syamsul Bahri, Rabu (29/9/2021).
Dia menilai terpilihnya Nyoman Adhi Suryadnyana sebagai Anggota BPK dinilai catat hukum karena melanggar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Sejak awal pencalonan, tuturnya, Nyoman Adhi sudah tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam pasal 13 huruf J UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.
Dalam pasal itu disebutkan, calon anggota BPK “paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelolaan keuangan Negara.” Sementara Nyoman Adhi diketahui menjabat sebagai Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Manado pada periode 3 Oktober 2017 hingga 19 Desember 2019.
Artinya, kata Syamsul, pada saat batas akhir pendaftaran calon anggota BPK RI (tanggal 11 Juni 2021), Nyoman Adhi belum 2 tahun meninggalkan jabatan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yakni Kepala Kantor KPPBC Tipe Madya Pabean Menado.
“Apalagi, Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan pendapat hukum (fatwa) Nomor 183/KMA/HK.06/08/2021 yang pada pokoknya menyatakan syarat pasal 13 huruf j UU BPK adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh calon anggota demi alasan terhindar dari konflik kepentingan (conflict of interest),” kata Syamsul Bahri.
Dia mengaku prihatin terhadap manuver DPR RI yang tetap memaksakan diri mengesahkan Nyoman Adhi sebagai Anggota BPK dalam Sidang Paripurna. “Padahal itu melanggar konstitusi tetapi mengapa tetap dilanggar oleh DPR yang notabene adalah pembuat Undang-Undang itu sendiri,” ujar Syamsul Bahri
Sebelum fit and proper test calon Anggota BPK, banyak kelompok masyarakat yang telah mengingatkan Komisi XI DPR agar memperhatikan ketentuan perundang-undangan dalam proses pemilihan pimpinan lembaga pemeriksa keuangan itu. “Meskipun pemilihan Anggota BPK itu hak politik DPR, tetapi seharusnya tetap memperhatikan aspirasi masyarakat,” kata Syamsul Bahri.
Bola Panas
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis juga mengingatkan Presiden agar tidak terjebak dalam permainan bola panas pemilihan Anggota BPK dari DPR, yang dinilai melanggar Undang-Undang.
Apabila Presiden membuat Keppres pengangkatan Anggota BPK terpilih, maka kesalahan dalam proses pemilihan akan ditanggung oleh Presiden. “Presiden yang akan menjadi objek gugatan di PTUN,” ujarnya kepada media belum lama ini.
Pasalnya, lanjut Margarito, DPR RI sebelumnya sudah meminta Fatwa dari MA dan MA menjawab bahwa fit and proper test harus mengikuti ketentuan dalam Pasal 13 huruf J UU BPK.
Namun, setelah menerima fatwa, DPR tetap melanjutkan dua calon bermasalah ke tahap fit and proper test. Menurut Margarito, presiden harus dijaga dari proses politik yang tidak benar di lembaga politik tersebut.
Presiden, kata dia, jangan menjadi muara masalah yang harus mencuci piring dari buruknya etika penyelenggara negara dalam melaksanakan UU. “Presiden tidak boleh salah. Untuk itu, meja kerja Presiden harus bersih dari proses administrasi yang salah,” tegas Margarito.