JAKARTA – Hubungan antara institusi dan aktor politik dengan dunia kriminal bisa jadi momok demokrasi yang mengerikan. Ia tidak saja mengancam masyarakat (menace to society) tetapi juga mampu meruntuhkan keamanan sebuah negara.
“Kolaborasi politik dan kriminal adalah relasi paling berbahaya bagi demokrasi kontemporer. Hal ini tidak saja melemahkan supremasi hukum, hak-hak asasi manusia, tetapi bisa mengancam eksistensi kekuasaan yang sah,” ungkap pakar budaya Prof. Dr. Andrik Purwasito, DEA, Selasa (9/8/2022).
Oleh sebab itu, menurut Kepala Prodi Kajian Budaya Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta ini, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai alat negara, harus mengamankan segala permainan kolaborasi politik dan kriminal yang sering disebut sebagai mafia.
“Dalam hal ini Polri dituntut semakin cerdas dan profesional dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebagai institusi strategis negara, Polri wajib menegakkan hukum dan memberi pelayanan kepada masyarakat secara adil dan merata, melindungi dan mengayomi rakyat semesta tanpa pandang bulu, tidak diskriminatif,” ujarnya.
Dengan demikian, lanjut Prof. Andrik, Polri menjadi garda depan dalam menegakkan hukum, bertindak secara profesional, obyektif, proporsional, transparan dan akuntabel.
Dalam mengembang tugas tersebut, dia mengatakan Polri mendapatkan ujian yang berat, seperti dalam kasus “Polisi tembak Polisi di rumah Polisi.” Kasus tewasya Brigadir J (Yosua) tersebut sudah berjalan dari penyelidikan sampai ke penyidikan.
“Di sini masyarakat terus menunggu kepastian hukum dan rasa keadilan. Dalam hal ini, penanganan Polri menunjukkan perubahan yang signifikan terutama pada pengungkapan atau analisa barang bukti dengan metoda Criminal Science Investigation (CSI),” kata lulusan Prancis yang mendalami bidang Kajian Budaya ini.
Metoda tersebut menggunakan triangulasi data/barang bukti secara cerdas, serta melibatkan unsur swasta dan lembaga independen lainnya yang terkait, seperti Komnas HAM, Komisi Perempuan Indonesia, Rumah Sakit serta Kompolnas bahkan akademisi.
“Hal ini sudah sejalan dengan misi Polri, yakni membangun sinergitas polisional interdepartemen, lembaga internasional serta membangun kemitraan dan jejaring kerja dengan komponen masyarakat,” jelas Prof. Andrik yang pernah menjadi Panitia Kerja Tetap Kodam Diponegara Bidang Kesejahteraan Masyarakat.
Menurut dia, optimalisasi sinergitas Polri dalam membangun partnership building dan networking tersebut dalam mengungkapkan ‘Kasus Polisi tembak Polisi’ merupakan peningkatan profesionalitas Polri dalam menjalankan misi suci (mission sacree) demi tegaknya keadilan.
“Hal itu menunjukkan bahwa kinerja Kapolri sangat profesional dan penuh kehati-hatian. Tidak ada kejahatan yang sempurna, karena semakin Polri bertindak tegas dan profesional, tidak ragu-ragu dalam bertindak,” kata Prof. Andrik yang juga dikenal sebagai dalang wayang kulit dengan panggilan Kiageng Guru.
Sehingga penanganan Timsus Polri dalam menyingkap teka-teki, kejanggalan-kejanggalan, rekayasa, penghilangan barang bukti dan skenario peristiwa yang menyulubungi tindak pidana pada peristiwa tersebut kini semakin terang benderang.
Dia menilai optimalisasi dan transparansi tersebut menghasilkan suatu kemajuan hasil yang berarti, yakni titik terang pada proses penanganan secara komprehensif. Hal ini terlihat jelas dalam konperensi pers yang disampaikan oleh Timsus Polri.
Salah satunya adalah temuan tidak adanya tembak menembak, tetapi yang terjadi adalah penembakan terhadap Brigadir J yang dilakukan oleh Bharada E atas perintah Irjen Pol Fredy Sambo (FS).
Atas dasar itu Timsus Poltri menetapkan FS sebagai tersangka, sementara motifnya masih terus didalami oleh Timsus untuk menemukan fakta yang seterang-terangnya.